Selasa, 05 April 2016

Beragama, berilmu tinggi, Tapi masih juga korupsi, Di Tanya kenapa ?

Monday, April 4, 2016

Islam, Ibadah dan Korupsi

Beragama Islam, Rajin Ibadah tapi Masih Korupsi Juga!!!

Caknun.com*

Kita seringkali di kagetkan ketiak menonton berita atau sedang membaca media sosial, kemudian menemukan seseorang yang alim, santun dan di depan namanya ada embel-embel haji/kiai tertangkap oleh KPK karena kasus korupsi. Kita juga sering bertanya mengapa orang-orang yang ilmu pengetahuan dan praktek beragamanya sudah tinggi tapi masih juga korupsi?” mereka itu juga ada yang pernah nyantri (“mantan” santri), ada yang pernah jadi ketua kelompok perkumpulan organisasi Islam, mereka juga banyak memiliki nama yang juga sangat “Islami”, rajin umroh, rajin berkhotbah, dahinya hitam tanda lebih lama bersujud, bahkan ketika masih menjadi mahasiswa/ketika nyantri merupakan orang yang paling keras berteriak soal korupsi. Namun ketika kini masuk lingkaran kekuasaan, mereka ternyata juga orang yang paling kuat menginjak amanah rakyat dan rajin mencuri dan merampok kekayaan negara. Fenomena apa ini?

Mesti dipahami, beragama saja tidak menjamin akan dapat membersihkan jiwa. Syariat agama seperti sholat, puasa, zakat, haji, dst, baru sebatas “metoda/cara” dan bukan tujuan. Yang disayangkan adalah jika ada  orang sudah merasa beragama dan merasa mendapat tiket surga jika ia sudah melaksanakan “metoda/cara” tersebut. Meski tetangganya kiri kanan kelaparan, ia masih asyik rajin ber-umroh dan mendirikan masjid di berbagai tempat. Tentu bukan berarti menjalankan umroh atau mendirikan masjid tidak penting, namun ia harus sampai kepada tataran adil dan proporsional.

Orang beragama yang masih korup, berarti ia belum tauhid. Tauhid bukan hanya berarti meng-Esa-kan Tuhan, namun sebuah upaya untuk menggerakkan diri menggabung ke Tuhan (manunggal). Kalau ia belum mampu menggabungkan diri ke Tuhan, maka ketika ia berwudlu — misalnya — maka ia juga belum sadar bahwa wudlu itu mestinya tidak saja berarti membersihkan kotoran badan, namun juga harus sampai membersihkan kotoran jiwa. Dalam sholat, umat muslim (apalagi pejabat negara) sudah berjanji: “Sholatku, hidup matiku, ibadahku, dst… hanya untuk Allah semata”. Ketika membaca Al Fatehah dalam sholat, ia juga selalu memohon: “Ya Allah tunjukkan aku ke jalan yang lurus (menegakkan)”, dan permohonan ini dilakukan setidaknya 17 kali setiap hari. Kalau anda menjamu seorang tamu dan ia meminta segelas air, dan anda memberinya, tapi tak dimunum sampai 17 gelas, bahkan lebih, maka kira-kira bagaimana sikap anda terhadap tamu itu? Anda pasti akan mengumpat, orang ini gila. Meminta minum, sudah diberi 17 gelas masih juga tidak diminum dan (lebih gila lagi) ia masih meminta terus. Lalu kira-kira bagaimana sikap Allah ketika umat-Nya dalam sholat minta ditunjukkan jalan yang lurus tapi tetap saja korupsi (misalnya)?

Bukankah dalam sholat kita juga bersumpah tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah? Boleh dan logiskah kita yang mengakui adanya Allah namun menyakiti ciptaan-Nya (memakan harta rakyat, merusak hutan dan tambang, dst)? Bukankah dalam sholat kita juga berjanji akan saling menyelamatkan untuk mengubah “rahmatullah” menjadi “barokah”? Orang juga mesti paham bahwa rahmat Allah akan ditumpahkan kepada siapa saja termasuk para koruptor, namun barokah hanya milik orang yang memiliki “piring dan cangkir” yang bersih.

Karenanya jika selesai sholat kita korupsi atau menyakiti tetangga, apakah ini berarti kita telah mendirikan sholat? Jawabnya jelas tidak. Dari konstruksi inilah menjadi jelas bahwa mengapa Indonesia yang hampir 96 % penduduknya memeluk Islam, dan bahkan 100 % pejabatnya pernah pergi haji, ternyata juga tetap menjadi negeri paling korup di dunia, dan sebaliknya Swedia dan negara-negara Skandinavia lainnya — meski tidak beragama Islam — namun dicap sebagai negara paling bersih di dunia. Padahal Islam mengajarkan kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang, moral, akhlak, dan sebagainya, namun sayang tidak dapat diamalkan oleh umatnya. Kalau baru tingkatan akhlak saja belum sampai, bagaimana kita mau sampai kepada tingkatan taqwa?

Demikian pula ketika seorang pejabat negara yang ketika berhaji melontar jumroh — misalnya. Ia mestinya juga sadar bahwa ia tidak sekadar melempar tugu sebagai benda yang mati, namun harus sadar bahwa ia sedang melempari syetan. Karenanya ketika kembali ke tanah air dan ke kantornya, ia juga tetap harus melempari syetan yang mengajaknya korupsi. Artinya harus mampu menolak segala kebatilan dan kejahatan yang menjauhkan dirinya dari Allah dan Rasulullah. Seorang pejabat yang sangat rajin sholat, tentu harus ingat bahwa ketika sujud, ia merendahkan mukanya, dan justru pantatnya yang lebih tinggi dibanding mukanya. Padahal muka adalah lambang kemartabatan. Namun toh ia masih memuji Allah yang maha tinggi. Tentu jika ia mengamalkan sujud tersebut dalam keseharian, ia akan malu jika martabatnya tercoreng karena korupsi.

Kita juga tidak dapat menyalahkan seratus persen para pejabat yang korup. Semua tentu ada akar masalahnya. Kalau pencurian yang dilakukan rakyat kecil barangkali disebabkan kemiskinan, dan ini berarti ada struktur yang tidak seimbang, maka barangkali, para pejabat yang suka mencuri juga adalah “korban” dari sistem dunia yang cenderung tidak adil dan menghisap. Untuk menjadi pejabat (misalnya) harus disponsori kapitalis (asing), karena biaya politik amat mahal. Ini berarti ada semacam dosa-dosa yang struktural sifatnya. Hanya masalahnya, mengapa para pejabat sebelumnya begitu percaya diri mengaku siap memimpin?

Kalau ia sudah beragama, namun masih korup dan berbuat kebatilan, maka ia belum kembali kepada kefitrian dan belum kembali ke rumah Allah. Islam adalah agama dunia sekaligus akherat, dan ini tidak dapat dipisahkan antara tauhid vertikal dan horizontal. Tidak bisa Allah diajak kalkulasi, kita korupsi 10 ribu, jika yang 5 ribu kita sumbangkan ke masjid maka dosa kita terhapus. Karena Islam adalah agama dunia-akherat, maka tidak ada keterpisahan. Dengan kata lain, yang ideal adalah menjalankan segala tugas duniawi (jadi guru, dosen, budayawan, tukang nggamel, pemusik, penyanyi, pejabat, bupati, gubernur, presiden, tukang ojeg, pengamen, dst) untuk diarahkan selalu ke rumah Allah.

Orang-orang yang beragama tetapi masih korup adalah orang sebenarnya masih percaya adanya Tuhan, namun ia tidak percaya atau setidaknya melupakan akan janji-janji Tuhan, sifat-sifat Tuhan, keagungan Tuhan, dst. Karenanya ketika disumpah di pengadilan (misalnya), bahkan di bawah kitab suci dan menyebut “demi Allah”, dia tetap berbohong, dan pulang dengan kepala tegak, senyum lebar, melambaikan tangan kepada para wartawan yang mewawancarainya ketika pulang bersaksi di pengadilan, dan esoknya berangkat Umroh!

*Artikel ini murni bukan tulisan saya, tetapi disadur dari tulisan Saratri Willonoyudo yang diterbitkan di situs caknun.com dengan judul asli "Beragama  tapi atheis"
*Tulisan ini sengaja saya posting kembali dengan sedikit perubahan karena isi tulisan ini sangat bagus dan bermanfaat. Bagi yang ingin membaca artikel aslinya silahkan kunjungiLINK INI. Terimakasih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar